Digital Demokrasi
By Unknown - 11/04/2014 03:20:00 PM
Dimana
dalam arti tertentu partisipasi publik dimanifestasikan melalui media
teknologi - contoh internet. Barry N. Hague dalam pengantar buku
antologi tentang diskursus demokrasi elektronik (1999) menjelaskan
beberapa unsur demokrasi yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi
digital. Di antaranya adalah: sifatnya yang interaktif; proses
interaktif mengandaikan adanya komunikasi yang bersifat resiprokalitas,
semua warga negara bisa berdialog secara interaktif.
Lalu
lewat demokrasi digital juga dijamin Kebebasan berbicara; sehingga
pengguna internet atau teknologi informasi dapat mengekspresikan
dirinya tanpa kontrol yang signifikan dari penguasa. Setiap warga
negara misalnya bisa secara diskursif mengetengahkan gagasan-gagasannya
yang paling gila sekalipun. Selain itu terbentuknya komunitas virtual
yang peduli terhadap kepentingan publik dan komunikasi global yang
tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital juga
informasi atau kajian politik dapat diproduksi secara bebas dan
disebarkan ke ruang publik virtual untuk diuji.
Melihat
paparan Barry N. Hague tersebut di atas adalah jelas bahwa demokrasi
digital menekankan partisipasi dalam ruang publik virtual. Sehingga
diskursus sepenuhnya dimanifestasikan secara bebas dalam demokrasi
digital; lewat surat elektronik, newsgroup, milis, live discussion,
website dan bentuk-bentuk lain dari perkembangan TI yang dapat
disesuaikan. Berawal dari sini dipahami bahwa ada semacam dialektika
antara teknologi dan masyarakat. Dialektika ini menghasilkan satu terma
yang bernama demokrasi digital.
Di
dalamnya setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya secara langsung.
Karena itulah demokrasi digital dapat dikatakan mempunyai bentuk yang
kira-kira sama dengan demokrasi yang dipraktikan pada zaman Yunani dan
Roma kuno. Selain lewat teknologi informasi, seperti kita ketahui ruang
publik juga disediakan oleh industri media massa seperti televisi,
radio, koran atau majalah.
A. Monopoli
Namun
bila kita cermati sungguh media massa bukanlah tempat yang memadai
untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan semua warga negara. Karena
ada monopoli komunikasi dan informasi di dalamnya. Kita tidak menemukan
ruang yang sifatnya adil dan partisipatif. Jelaslah industri media
massa tidak cukup menyediakan ruang publik yang bebas bagi setiap warga
negara. Kita semua sama-sama ketahui bagaimana opini publik dapat
diarahkan oleh media massa. Tentu ini menyadarkan kita bahwa media
massa (kepemilikan media) belumlah sepenuhnya memberikan semacam
diskursus dan pendidikan tentang demokrasi itu sendiri.
Manuel
Castells, ahli sosiologi urban, menyebut hal tersebut di atas sebagai
depolitik media. Politik media merupakan politik elit industri media
massa yang menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi
kebijakan-kebijakan publik. Pendapat atau opini misalnya dibahasakan
searah dengan kebijakan yang mendukung egosentrisme ekonomi. Akhirnya
dapat kita pahami bahwa dinamika demokrasi belum hadir secara utuh
dalam ruang publik yang disediakan oleh industri media massa (televisi,
radio, koran, majalah). Karena kita semua tahu itu politik media
membahasakan opini secara ideologis, sesuai dengan kepentingan golongan
dan di atas semua itu adalah kepentingan modal (ekonomi).
Tak
heran juga, jika dunia digital dan media elekronika lainnya seperti
televisi, video, video game, film, komputer, internet adalah dunia yang
di dalamnya dikembangkan citra-citra kekerasan dan agresivitas, yaitu
dunia santet, dukun, mistik, perkosaan, kriminalitas, robot, monster,
alien, iblis, cyborg, super-hero, bencana nuklir, dan persenjataan
hi-tech yang macho.19 Yang banyak muncul di dalam media kita adalah
tema-tema ideologis mistisisme, militerisme, seksisme, dan
teknokratisme, yang di dalamnya dieksplorasi perasaan alienasi dan
ketidakberdayaan manusia (powerlessness), sebuah dunia yang penuh
permusuhan, kebencian, persaingan, dan kecabulan.
Kecabulan
dan pornografi di dalam media-lewat ekspose pantat, payudara dan
paha-adalah salah satu dari bentuk ‘kekerasan simbolik’ itu, oleh
karena di dalamnya ada unsur ‘pemaksaan dan kekerasan terhadap
keyakinan orang lain’, terhadap ‘ruang-ruang pribadi’ orang lain. Dunia
media yang bermuatan makna-makna agresivitas tersebut itu hanya akan
semakin mendorong kecerdasan destruktif (destructive intelligence),
yang menjauhkan bangsa ini dari kecerdasan merasakan, berempati, dan
bersosial.
B. Konsep
Pada
zaman elektronik, konsep virtual mempunyai banyak arti. Selain dalam
arti seperti tersebut di atas, dunia virtual juga sering disebut
sebagai sebagai dunia simulasi; seperti yang dihadirkan oleh sinema
atau komputer grafik. Ada pandangan lainnya yang mensejajarkannya
dengan ruang saiber atau internet.
Ada
juga yang memahami dunia virtual sebagai informasi (teks) dan imagi
yang dihadirkan oleh media (televisi, majalah atau koran), yang virtual
dalam konteks ini merupakan (re)- presentasi dari dunia aktual. Yang
aktual divirtualkan. Sebenarnya dari semua definisi di atas dipahami
adanya satu kesamaan, bahwa yang virtual tak pernah hadir begitu saja
ia selalu dikonstruksikan, manusia selalu memvirtualisasikan kenyataan.
Proses virtualisasi bukanlah sesuatu yang sifatnya alamiah. Karena ia
mengandaikan sebuah upaya menampilkan kembali secara etis, politis, dan
estetis segala yang aktual (kenyataan sesungguhnya) ke dalam sebuah
medium.
Karenanya
wajar bila ada asumsi yang mengatakan bahwa dunia kehidupan sekarang
terangkum dalam sebuah layar. Seseorang bisa saja melihat sesuatu
secara langsung (real time) kejadian yang terjadi di belahan dunia
lain. Untuk memperluas cakrawala perseptual, kita hanya memerlukan mata
dan pikiran saja. Asumsi inilah yang mengantarkan kita pada sebuah ide
tentang mutasi ontologi dalam sejarah kehidupan manusia.
Realitas
bergerak dinamis, walalaupun kita tidak menggerakkantubuh.
Kerlap-kerlip televisi (dan tentunya juga internet) dalam setiap rumah
misalnya telah menyediakan ruang secara virtual dan aktual sekaligus.
Demikian
juga ketika realitas hilang dalam gelap bioskop. Manusia berkerumun
dan secara bersama-sama merasakan ekstase sinematik, merasakan
emosi-emosi temporal (artifisial) yang distimulasi oleh gambar
bergerak. Industri film yang telah menyebar sampai ke pelosok-pelosok
negeri jelaslah memberikan sebuah gambaran betapa manusia tak puas
dengan hidupnya yang biasa-biasa saja.
Menonton
film misalnya menjadi semacam ritus, manusia seperti ingin lari dari
kenyataan, bukan mempelajarinyah demikian kata Rosalind William dalam
bukunya The Dream World: Mass Consumption in Late Nineteeenth-Century.
Sekarang
keterasingan tampaknya sudah mulai dijinakkan oleh penyebab
keterasingan itu sendiri (relasi produksi). Kini kekuasaan kapitalis
telah mengimunisasikan dirinya dan menguatkan cengkeramannya dengan
memproduksi sesuatu yang dapat menangkal keterasingan yang diidap
masyarakat pos-industri; yakni film.
Industri
film (dan hiburan) juga telah merekam roh zaman - dengan
mengartikulasikan, atau merepresentasikan sejarah secara dramatik dan
artistik. Sejarah dalam arti tertentu divirtualkan lewat alat-alat
teknologi. Inilah yang membuat Baudrillard secara profetik mengatakan
tentang adanya semacam zaman di mana film dan sejarah menjadi tak
terpisah dan terdefinisikan. Yaitu ketika kita tidak bisa mengetahui
apakah gambar bergerak yang ditampilkan dalam film Ben-Hur si pangeran
Yahudi itu ada pada zaman modern atau pada zaman kekaisaran Romawi awal
abad Masehi. Ada semacam skizofrenia sejarah dalam virtualitas yang
dihadirkan lewat film. Dalam internet, yakni cyberspace, virtualitas
menemukan bentuk sejatinya. Seseorang dalam ruang ini tidak saja
menjadi penerima pasif informasi atau imagi (seperti dalam film atau
acara televisi), tapi ia juga dapat dengan aktif memproduksinya; bahkan
seseorang dapat memvirtualisasikan dunia dirinya.
Ruang
ini secara etis dan politis memang kacau balau, tapi tak dapat
dimungkiri di sinilah kita mengerti secara tentatif apa itu kebebasan -
dalam arti anarki atau kebebasan absolut. Kebebasan dikatakan ada
dalam ruang cyber karena memang dalam ruang ini tak ada relasi
kekuasaan yang menentukan sesuatu secara etis, estetis dan politis.
Dari yang suci sampai yang terkutuk ada dalam ruang ini. Virtualisasi
kenyataan dalam sinema, televisi atau internet dalam arti tertentu
memang telah mengaburkan cara pandang manusia tentang dunianya. Yang
aktual misalnya secara ontologis bisa melebur dengan yang virtual lewat
teknologi satelit. Karenanya ia mempunyai efek yang cukup mempengaruhi
kehidupan sosial masyarakat.
Bagaimana
ia secara etis mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat adalah
virtualisasi teror. Virtualisasi teror terjadi ketika keadaan takut dan
trauma akibat aksi teroris dihadirkan, disebarkan, dan gemakan kembali
oleh media informasi; sehingga tercapailah tujuan utama dari teror.
Wajarlah bila Derrida mengatakan, dalam penafsiran Giovanna Borradori
(dalam bukunya Philosophy in a Time of Terror), bahwa media, juga
kekuasaan politik tentunya, punya andil dan tanggung jawab untuk
mereduksi dan menyebarkan teror.
Derrida
dalam hal ini sebenarnya mencoba menyampaikan bahwa esensi dari teror
adalah ketakutan yang digemakan dan disebarkan. Inilah yang dipercaya
olehnya sebagai semasa depan terorisme; yakni serangan-serangan
virtual. Serangan virtual tentu tidak hanya informasi mencekam tentang
bencana teror saja, tapi juga banyak lainnya.
Misalnya
rekayasa kultural guna mendukung laju dan kepentingan pasar global
yang semakin hari semakin menjauhi nilai-nilai keadilan melalui film
atau acara televisi. Dari sinilah kita ketahui bahwa virtualitas telah
menjelma menjadi kekuatan yang menentukan nilai-nilai, atau,
katakanlah, lokus utama diskursus. Ia dalam beberapa hal merupakan
cermin yang memantulkan (yang terkadang membiaskan) gambaran kondisi
masyarakat.
C. Fungsi
McQuail
mengemukakan fungsi-fungsi media massa sebagai pemberi informasi,
pemberi identitas pribadi, sarana intergrasi dan interaksi sosial dan
sebagai sarana hiburan (Denis McQuail, 2000).
Selain
sebagai pemberi informasi media massa juga berfungsi sebagai pemberi
identitas pribadi khalayak. Sebagai pemberi identitas pribadi, media
massa juga berfungsi sebagai model perilaku. Model perilaku dapat kita
peroleh dari sajian media. Apakah itu model perilaku yang sama dengan
yang kita miliki atau bahkan yang kontra dengan yang kita miliki.
Selain berfungsi menjadi model perilaku, sebagai pemberi identitas
media massa juga berfungsi sebagai sarana untuk mengidentifikasikan
diri dengan nilai-nilai lain (dalam media). Manusia memiliki
nilai-nilai hidupnya sendiri yang pada gilirannya akan ia gunakan untuk
melihat dunia. Namun manusia juga perlu untuk melihat nilai-nilai yang
diciptakan oleh media. Seperti yang kita ketahui, media membawa
nilai-nilai dari seluruh penjuru dunia. Implikasinya adalah konsumen
media dapat mengetahui nilai-nilai lain di luar nilainya.
Fungsi
lain media massa sebagai pemberi identitas, dimana media merupakan
sarana untuk meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri. Untuk
melihat serta menilai siapa, apa dan bagaimana diri kita, pada umumnya
dibutuhkan pihak lain. Kita harus meminjam kacamata orang lain. Media
dapat dijadikan sebagai salah satu kacamata yang dipergunakan untuk
melihat siapa, apa serta bagaimana diri kita sesungguhnya.
Bersosialisasi dengan orang lain di saat kita tidak berusaha untuk
mengadakan komunikasi dengan orang tersebut merupakan hal yang sulit.
Di
lain pihak, akan sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengan orang lain
apabila kita tidak mengetahui topik apa yang bisa digunakan untuk
membangun komunikasi dengan orang tersebut. Media membantu kita dengan
memberikan berbagai pilhan topik yang bisa digunakan dalam membangun
dialog dengan orang lain. Hal ini pada gilirannya menjadikan media
massa sebagai sarana integrasi dan interaksi sosial berfungsi untuk
penyedia bahan percakapan dalam interaksi sosial. Media massa
memungkinkan seseorang untuk dapat mengetahui posisi sanak keluarga,
teman dan masyarakat. Baik posisi secara fisik, secara intelektual
maupun secara moral mengenai suatu peristiwa.
Fungsi
media massa yang satu ini biasanya dapat dilihat pada surat untuk
redaksi, kolom pembaca dan yang sejenis. Pada multimedia fungsi ini
menjadi sangat menonjol karena kita dimungkinkan untuk berinteraksi
langsung dengan orang lain dalam waktu relatif lebih cepat.
Fungsi
media massa sebagai hiburan. Berkaitan dengan itu media massa
menjalankan fungsinya sebagai pelepas khalayak dari masalah yang sedang
dihadapi. Rasa jenuh di dalam melakukan aktivitas rutin pada saat
tertentu akan muncul.
Di
saat itulah media menjadi alternatif untuk membantu kita di dalam
melepaskan diri dari problem yang sedang dihadapi atau lari dari
perasaan jenuh. Khalayak juga memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis
dari mengkonsumsi media massa. Manusia tidak saja perlu untuk memenuhi
kebutuhan fisiknya, namun ia juga harus memenuhi kebutuhan rohaninya,
jiwanya. Kebutuhan ini dapat terpuaskan dengan adanya media massa.
Media massa memenuhi kebutuhan tersebut dengan sajian yang menurut
media yang bersangkutan dapat dinikmati dan memiliki nilai estetika.
Media
massa juga dapat berfungsi sebagai pengisi waktu, dimana ini juga
termasuk fungsi media massa sebagai sarana hiburan bagi khalayak.
Kadang orang melakukan sesuatu tanpa ada tujuan. Mengkonsumsi media
massa tanpa memiliki tujuan adalah salah satunya. Dalam penyaluran
emosi. Ini merupakan fungsi lain dari media massa sebagai sarana
hiburan. Emosi pasti melekat dalam diri setiap manusia. Dan layaknya
magma yang tersimpan di dalam perut bumi, emosi ada saatnya untuk
dikeluarkan. Emosi butuh penyaluran, dan salah satu salurannya adalah
dengan mengkonsumsi media massa atau bahkan memproduksi media yang
senada dengan emosinya.
Berdasarkan
fungsi-fungsi media massa yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dikatakan pula bahwa media massa memiliki peran di dalam menciptakan
apa yang disebut dengan daya tarik seks (sex appeal). Mengenai hal ini
dapat diasumsikan bahwa fungsi media massa sebagai salah satu sarana
pembangkit gairah seks adalah fungsi yang paling dapat menjelaskan
mengapa media massa dipandang berperan di dalam menciptakan apa yang
berkaitan dengan seks. Entah itu standarisasi daya tarik seks yang
perlu dimiliki seseorang, apa yang perlu dilakukan untuk mendapat daya
tarik seks yang tinggi, apa yang akan didapat dengan memiliki daya
tarik seks tertentu, dan sebagainya.
Model-model
yang ditampilkan pada sebuah majalah, misalnya, bisa diartikan sebagai
bagian upaya media massa di dalam mengatakan apa yang mereka nilai
sebagai orang yang memiliki daya tarik seks. Seperti yang kita lihat,
majalah-majalah tidak sembarangan di dalam memilih model yang akan
dijadikan model sampulnya. Ada semacam kriteria tertentu yang harus
dimiliki model tersebut agar ia dapat ditampilkan oleh majalah yang
bersangkutan.
Memang,
daya tarik seks pada umumnya sering disamakan dengan daya tarik fisik
pria atau perempuan. Bentuk tubuh, wajah, bibir, rambut, dan sebagainya
yang menyangkut fisik adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur
daya tarik seks seseorang.
Namun
ternyata ada hal lain selain daya tarik fisik yang diperlukan untuk
membentuk daya tarik seks. Karisma, tingkat intelektual yang tinggi,
kesuksesan, dan kemapanan secara materi, merupakan beberapa diantara
hal yang bisa dikategorikan sebagai unsur yang menjadikan seseorang
memiliki daya tarik seks. Kesemua ini pada gilirannya akan bermuara
pada konsumerisme dan hedonisme.
Materi
apa yang dikatakan oleh media massa sebagai sesuatu yang memiliki daya
tarik seks akan mendorong khalayak untuk memiliki gaya hidup konsumtif
karena media massa memiliki kekuatan untuk menawarkan apa yang saat
ini sedang tren, apa yang saat ini dicari orang, apa yang saat ini
harus dimiliki orang, dan berbagai pikiran yang sejalan dengan itu,
termasuk menentukan apa yang harus dimiliki khalayak untuk dapat
memiliki sex appeal.
Begitu
juga dengan apa yang melekat pada orang-orang yang memiliki sex
appeal, dapat mendorong orang kepada gaya hidup hedonis. Ketika ada ABG
mengecat rambutnya menjadi merah, banyak orang terperanjat dan
bergumam, “Korban iklan apa lagi?” Maka, warna rambut pun menjadi
obrolan orang tua karena itu adalah dagangan ‘gaya hidup’ terkini. Saya
pun pernah terkena giliran. Saat seorang keluarga tergiur kosmetik
pemutih kulit, saya pun berteriak sama, “Korban iklan apa lagi?” Tapi
itulah. Walaupun krisis masih melanda negeri ini, ribuan remaja terus
saja jadi korban iklan.
Dan
mereka pun tiba-tiba mendambakan rambut warna-warni, kosmetik dan
parfum berganti-ganti, handphone bermacam seri, dan impian mobil mewah
keluaran terkini. Welcome to Consumer Society!. Tumbuhnya masyarakat
pasar-industri (the market-industrial society) dalam konteks
kapitalisme modern ternyata telah membawa perubahan radikal dalam
kehidupan masyarakat.
Sejak
revolusi industri yang membawa pelipatgandaan barang-barang yang
dikonsumsi manusia, untuk pertama kalinya, masyarakat hidup dikelilingi
oleh beragam komoditas barang dan jasa dalam jumlah dan keragaman luar
biasa.
Walaupun
awalnya, barang-barang yang diproduksi lebih merupakan duplikasi dari
apa yang digunakan di dalam rumah, inovasi dalam produksi modal
industri semakin lama membanjiri pasar, memberikan aneka pilihan, jauh
melampaui sekadar kebutuhan dasar (basic needs) yang diperlukan.
Industri dalam kapitalisme modern memiliki kemampuan menciptakan
‘kebutuhan-kebutuhan baru’ dalam kehidupan. Akibatnya, masyarakat
sering kali dihadapkan pada tawaran-tawaran kebutuhan menarik yang
mereka sendiri awalnya tak merasa pasti benar-benar membutuhkannya.
0 komentar